![]() |
Ayam Bekisar - Ikidangbang |
Bagi orang luar, ayam bekisar mungkin hanya sekadar ayam. Tetapi bagi mereka yang sudah masuk ke dalam lingkaran kecil komunitas bekisar, hewan ini adalah lambang gengsi yang tidak bisa dibeli begitu saja. Seekor bekisar tidak berdiri di kandang sebagai hewan peliharaan, melainkan sebagai perwakilan kehormatan pemiliknya. Di banyak desa pesisir seperti Sumenep, Pamekasan, hingga Probolinggo, ada ungkapan yang cukup terkenal di kalangan orang tua: “Orang boleh kaya, tapi belum tentu punya suara.” Suara yang dimaksud bukanlah suara manusia, tetapi suara bekisar—suara yang dijadikan simbol status sosial di tengah masyarakat.
Jejak Darah dari Dua Dunia – Liar yang Ditaklukkan tanpa Memaksa
Asal-usul ayam bekisar adalah kisah tentang dua dunia yang berbeda namun dipersaudarakan oleh suara. Ayam kampung, dengan sifatnya yang bersahabat dan terbiasa hidup berdampingan dengan manusia, disilangkan dengan ayam hutan hijau, yang tidak pernah tunduk kepada siapa pun kecuali naluri liarnya sendiri. Dari penyatuan itu lahirlah makhluk dengan tubuh ramping dan ekor melengkung anggun, namun yang paling berharga darinya bukan fisik, melainkan suara.Ayam hutan hijau terkenal dengan panggilan yang tajam dan panjang, namun liar dan sulit dipelihara. Ayam kampung membawa kesabaran dan kemampuan beradaptasi. Bekisar adalah perantara, penjaga transisi antara liar dan jinak. Ia tidak tunduk sepenuhnya, tetapi juga tidak sepenuhnya lepas dari ikatan manusia. Justru dalam ketegangan itulah lahir pesona. Seorang breeder tua di Madura pernah berkata dengan tenang saat menatap bekisarnya, “Kalau ia terlalu jinak, ia kehilangan roh. Kalau terlalu liar, ia kehilangan arah. Yang terbaik adalah ketika ia menghormati tuannya, bukan takut.” Sebagian orang mengira kalimat itu hanya kiasan, namun di kalangan pecinta bekisar, itu adalah prinsip perawatan paling tinggi: menumbuhkan rasa hormat, bukan rasa takut.
Suara yang Mengangkat Nama – Saat Seekor Ayam Bicara Mengalahkan Banyak Kata
Ketika bekisar bersuara, sesungguhnya yang bersuara bukan hanya ayam itu, melainkan pula gengsi tuannya. Di ajang kontes suara, suasana selalu dimulai dengan keheningan. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorak. Para pemilik berdiri tenang, sebagian menatap kandangnya, sebagian lagi memandang ke kejauhan seolah tidak ingin terlihat terlalu peduli. Namun semua mata sesungguhnya menunggu satu hal: suara pertama yang keluar dari seekor bekisar yang percaya diri.Suara bekisar yang dianggap berkelas memiliki struktur yang hampir musikal. Nada pertama naik perlahan seperti tarikan napas panjang dari dalam dada. Di puncak lengkingannya, suara bergetar, bukan karena lelah, tetapi karena ketegasan. Lalu ia turun perlahan, seolah menutup kalimat dengan hormat. Ketika suara seperti itu terdengar, para pengamat berpengalaman tidak akan berteriak. Mereka hanya mengangguk pelan, senyum kecil muncul, tanda pengakuan. Di dunia ini, tidak ada tepuk tangan murahan. Pengakuan datang dalam bentuk diam yang penuh hormat.
Ada kisah tentang seorang penghobi dari Probolinggo yang selama bertahun-tahun mengikuti lomba tanpa pernah menang. Setiap pekan ia tetap datang, tetap merawat, tetap berdiri di sisi kemenangannya yang tak kunjung datang. Suatu pagi, bekisar miliknya yang dulu dianggap biasa tiba-tiba mengeluarkan suara yang membuat para juri saling berpandangan. Ketika diumumkan sebagai juara, pria itu tidak melompat atau bersorak. Ia hanya mengusap bulu ayamnya perlahan dan berkata lirih, “Akhirnya kau bicara untukku.” Di dunia bekisar, itulah kemenangan paling tinggi—bukan hadiah, melainkan momen ketika suara ayam mewakili harga diri tuannya.
Fisik yang Tenang, Tatapan yang Tidak Tunduk – Bekisar Juara Tidak Perlu Mencari Sorot Lampu
Banyak ayam memiliki bulu indah, tetapi tidak semua memiliki aura. Bekisar juara bisa dikenali bukan dari warna bulu saja, tetapi dari cara ia berdiri. Ia tidak banyak bergerak, tidak panik melihat keramaian. Tatapannya tidak liar, tetapi juga tidak tunduk. Ia berdiri dengan kepala sedikit terangkat, ekor terjulur melengkung seperti pedang, dada terangkat seperti prajurit yang siap tetapi tidak sombong. Penampilan seperti itu tidak lahir dari perawatan fisik semata, tetapi dari ketenangan mental yang dibangun dari hubungan yang tidak memaksa antara pemilik dan hewan.Pemilik sejati tidak membentak, tidak memaksa ayam bersuara, bahkan tidak memukul kandang agar ayam berbunyi. Ia hanya mendekat, menyebut nama ayamnya dengan nada rendah, lalu menunggu. Bekisar yang hormat akan merespons bukan dengan ketakutan, tetapi dengan suara. Di titik itu, bekisar tidak lagi sekadar peliharaan, tetapi rekan kehormatan.
Kontes Suara – Arena Sunyi Tempat Harga Diri Diuji
Lomba suara ayam bekisar bukan festival ramai. Tidak ada dentuman musik, tidak ada sorak. Yang terdengar hanya desis angin dan suara sesekali dari para juri yang saling memberi kode. Para pemilik berdiri dengan jarak terhormat. Tidak ada yang terlalu dekat, karena mendekat berlebihan akan dianggap tidak tahu tata krama. Di dunia ini, sopan santun bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk suara. Ketika bekisar bersuara di arena itu, ia tidak hanya menunjukkan kemampuan vokalnya, tetapi juga mengukur sejauh mana mentalnya berdiri di hadapan mata-mata pemilik lain yang diam namun penuh penilaian.Seseorang yang tidak terbiasa bisa gugup hanya dengan berdiri di arena ini. Bukan karena takut kalah, tetapi karena suasana yang memaksa setiap orang menjaga wibawa. Seorang juri senior dari Sumenep pernah berkata dengan tegas, “Yang kami nilai bukan hanya suara ayam, tetapi cara pemilik berdiri saat ayam itu bersuara.” Itulah sebabnya, orang yang benar-benar mengerti dunia bekisar tahu bahwa lomba ini bukan tentang piala, melainkan tentang kehormatan yang dipertontonkan dalam diam.
Dari Anakan Hingga Juara – Harga yang Tidak Dibayar dengan Uang Saja
Pasar ayam bekisar adalah salah satu pasar yang paling unik di dunia hewan hobi. Seekor anakan dengan garis suara menjanjikan bisa dibanderol dengan harga cukup tinggi, tetapi itu hanyalah permulaan. Ketika ia mulai bersuara stabil di usia muda, nilainya melonjak. Jika pernah menjadi finalis lomba suara, harga itu bisa menembus angka yang membuat orang awam menggeleng. Bahkan ada bekisar juara yang dijual dengan harga setara sebuah mobil kecil, bukan karena bulunya, tetapi karena suaranya yang dianggap memiliki karakter langka.Namun rahasia sebenarnya adalah ini: harga tinggi bukan hanya karena kualitas ayam, tetapi karena nama pemilik sebelumnya. Jika bekisar berasal dari breeder besar yang dikenal tegas dan penuh wibawa, ayam itu dianggap mewarisi mental tuannya. Di dunia ini, reputasi adalah bagian dari harga. Maka tidak heran, ketika seorang tokoh tua dari Madura menjual seekor bekisarnya, ia tidak bicara soal uang. Ia hanya akan berkata, “Kalau kau beli suara ini, jagalah cara berdirimu saat dia bersuara.” Sebuah kalimat sederhana yang sesungguhnya menyimpan pesan bahwa harga diri bekisar tidak boleh jatuh hanya karena berpindah tangan.
Ritual Suara – Rahasia yang Diturunkan Lewat Diam dan Waktu
Merawat ayam bekisar yang ditakdirkan untuk bersuara bukan sekadar soal pakan atau vitamin. Ada ritual yang berlangsung dalam diam, seperti latihan napas panjang seorang penyanyi panggung. Bekisar tidak boleh dibiarkan bersuara terlalu sering di luar waktu latihan. Suasana hati ayam dijaga, tidak boleh terlalu stres tetapi juga tidak boleh terlalu dimanjakan. Penjemuran dilakukan perlahan, dimulai dari cahaya lembut dan diakhiri dengan teduh. Pemilik yang berpengalaman tahu, suara terbaik bukan lahir dari tubuh yang kuat saja, tetapi dari hati yang tenang.Sebagian orang mungkin menganggap ini berlebihan. Namun coba dekati para pemilik bekisar juara dan perhatikan bagaimana mereka memperlakukan kandang. Mereka tidak menaruhnya sembarangan. Ada yang menggantung kandang di tempat tertentu, bukan berdasarkan kenyamanan manusia, tetapi berdasarkan arah datangnya angin. Ada yang berbicara pelan sebelum membuka kain penutup kandang. Di luar terlihat seperti kebiasaan kecil, tetapi di dunia bekisar, adab kecil itulah yang membangun suara besar.
Bekisar, Ketika Seekor Ayam Mengajarkan Arti Wibawa
Pada akhirnya, ayam bekisar mengajarkan satu hal besar kepada para pemiliknya: bahwa kehormatan tidak perlu diteriakkan. Ayam lain mungkin berkokok untuk menunjukkan keberadaan, tetapi bekisar bersuara untuk menyatakan martabat. Ia tidak meminta sorot mata, ia hanya berdiri tenang dan berbicara seperlunya. Dan dari suara itulah, dunia diam sejenak untuk mendengarkan.Dalam kehidupan manusia, banyak yang berteriak agar didengar, tetapi bekisar menunjukkan jalan berbeda—berdiri dengan wibawa, bersuara dengan hormat, dan membiarkan gema suaranya menjadi pembicaraan setelahnya. Bagi pecinta sejati, memiliki bekisar bukan soal ternak, bukan pula soal kebanggaan sesaat. Ini tentang merawat gengsi, membangun kehormatan, dan menjaga suara agar tetap berbicara atas nama dirinya dan nama pemiliknya.
Di dunia bekisar, ada kalimat tidak tertulis yang hanya dipahami oleh mereka yang sudah lama berkecimpung: “Suara yang baik tidak lahir dari ayam yang dipaksa, tetapi dari hubungan yang dijaga.” Mungkin itulah sebabnya, bagi para pemilik sejati, bekisar bukan sekadar hewan. Ia adalah cerminan kepribadian. Dan dalam setiap lengkingannya, ada rasa hormat yang terucap tanpa kata.
0 Komentar