10 Fakta Mistis Burung Kedasih: Pertanda Kematian atau Pesan Gaib dari Alam?

Burung Kedash (ilustrasi)

Dalam tradisi Jawa, suara alam tidak pernah dianggap sekadar bunyi; setiap denting bambu yang tertiup angin, kokok ayam di ujung malam, hingga nyanyian burung tertentu dipercaya membawa pesan gaib yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang peka. Di antara semua makhluk bersayap yang menghuni pepohonan, burung kedasih atau Cacomantis merulinus menempati posisi paling misterius. Masyarakat kuno menyebutnya “burung mati anak”, bukan tanpa alasan. Burung ini dikenal lebih sering terdengar daripada terlihat, seolah hanya menghadirkan suaranya tanpa ingin menampakkan wujud. Dalam kepercayaan rakyat, kemunculan suaranya menjelang fajar sering dikaitkan dengan firasat—mulai dari tanda datangnya rezeki hingga isyarat kematian. Primbon Jawa bahkan menyimpan tafsir khusus tentang arah datangnya suara kedasih yang dipercaya menentukan makna dari pertanda tersebut. Lebih jauh lagi, legenda-legenda tua menyebutnya sebagai penjelmaan jiwa yang meratap, atau bahkan utusan makhluk gaib yang menjaga batas antara dunia manusia dan alam tak kasatmata. Karena itulah, membahas burung kedasih bukan sekadar mengulas satwa, melainkan menyelami warisan rasa takut, kagum, dan hormat masyarakat Jawa terhadap alam dan segala rahasia yang tersembunyi di balik sunyi malam.

1. Dijuluki “Burung Pembawa Kematian”

Dalam kepercayaan Jawa, suara burung kedasih yang terdengar terus-menerus sebelum Subuh dianggap sebagai tanda akan adanya kematian di kampung tersebut, terutama jika suaranya terdengar di satu arah saja dan tidak berpindah-pindah.

2. Suaranya Disebut Mirip Ratapan

Orang tua dulu percaya suara kedasih bukan sekadar panggilan alam, tetapi ratapan arwah yang penasaran. Karena itu, banyak warga desa yang tidak berani keluar rumah saat suara kedasih terdengar malam hari.

3. Burung yang Tidak Pernah Terlihat Tapi Sering Terdengar

Kedasih sangat jarang terlihat. Dalam mitos Jawa, ia disebut sebagai burung gaib yang hanya memperdengarkan suara tanpa ingin menampakkan diri. Banyak orang yang mencoba mencari sumber suaranya, namun suaranya seolah berpindah dan tidak bisa ditemukan wujudnya.

4. Diduga Utusan “Banaspati” atau Makhluk Penjemput Nyawa

Beberapa cerita rakyat menyebut burung kedasih sebagai hewan peliharaan makhluk halus bernama Banaspati, sosok api gaib yang gentayangan membawa sial. Jika suara kedasih disertai angin panas berhembus, dipercaya makhluk itu sedang melintas.

5. Dalam Primbon, Suara Kedasih Bisa Jadi Pertanda Rezeki atau Musibah

Menariknya, tidak semua suara kedasih dianggap buruk. Jika suaranya terdengar dari arah timur menjelang pagi, dipercaya sebagai pertanda datangnya rejeki atau kelahiran. Namun jika dari barat dan suaranya lirih memanjang, ditafsirkan sebagai firasat kematian.

6. Dikaitkan dengan Kisah Ibu yang Kehilangan Anak

Legenda Jawa bercerita tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya secara tragis lalu berubah menjadi burung kedasih, meratapi kepergian anaknya sepanjang malam. Karena itu masyarakat menyebutnya "burung mati anak".

7. Tidak Pernah Membangun Sarang Sendiri

Secara ilmiah, kedasih adalah burung parasit—menitipkan telurnya di sarang burung lain dan membiarkan induk burung lain yang membesarkan anaknya. Dalam tafsir spiritual Jawa, sikap ini dianggap sebagai simbol kegelapan hati dan pengkhianatan.

8. Suaranya Tidak Boleh Disebutkan Langsung

Orang tua zaman dulu melarang menyebut kata "kedasih" saat suaranya terdengar. Mereka menyamarkannya menjadi “manuk kasihan” atau “manuk tumbal”, karena menyebut namanya dipercaya bisa mengundang kehadirannya lebih dekat.

9. Dijadikan Penanda Waktu Zaman Kerajaan

Dalam beberapa tradisi keraton Jawa, suara kedasih menjelang fajar dijadikan pertanda pergantian waktu ronda atau jaga malam. Karena itu burung ini diyakini memiliki hubungan dengan dunia penjaga gaib, yang bergiliran menjaga malam bersama manusia.

10. Penolakannya Dilakukan dengan Api atau Bunyi Logam

Jika suara kedasih dianggap sebagai firasat buruk, orang desa zaman dulu membakar daun kelor atau membunyikan lesung dan alu di malam hari sebagai simbol menolak bala dan mengusir roh yang datang bersama suaranya.

Menyelami mitos dan fakta tentang burung kedasih membawa kita pada pemahaman bahwa alam menyimpan lebih banyak pesan daripada yang terlihat. Suara lirihnya di tengah malam bukan sekadar panggilan biologis, tetapi telah menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat Jawa—sebuah simbol tentang intuisi, firasat, dan hubungan manusia dengan yang tak kasatmata. Entah dipercaya sebagai pertanda kematian atau justru isyarat berubahnya nasib, kehadiran kedasih selalu memancing rasa waspada dan rasa ingin tahu. Pada akhirnya, burung ini bukan hanya makhluk liar yang bersuara sunyi, tetapi juga penjaga kisah-kisah lama yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan memahami makna di balik mitosnya, kita tidak hanya belajar tentang kepercayaan nenek moyang, tetapi juga diajak untuk lebih peka terhadap bahasa alam yang sering diabaikan manusia modern.

0 Komentar