Akar Kata dan Tradisi Awal
Secara etimologis, kata karnaval berasal dari bahasa Latin carne vale yang berarti “selamat tinggal daging”. Istilah ini berkaitan dengan tradisi Puasa Pra-Paskah (Lent), yaitu masa 40 hari menjelang Paskah di mana umat Katolik berpantang makan daging dan hidup sederhana. Sebelum masa pantang dimulai, masyarakat mengadakan pesta besar dengan makanan melimpah, musik, tarian, dan topeng untuk merayakan hari terakhir kebebasan mereka sebelum periode pantang dimulai (Burke, 1997).Perkembangan di Eropa
Karnaval berkembang pesat pada Abad Pertengahan (sekitar abad ke-12–16). Beberapa kota di Eropa mencatat tradisi karnaval yang masih bertahan hingga kini:- Venesia, Italia: terkenal dengan pesta topeng (masquerade) yang mewah, tempat masyarakat dari berbagai kelas sosial dapat berbaur tanpa memandang status.
- Köln, Jerman: dikenal dengan parade satir yang penuh humor, digunakan masyarakat untuk mengkritik penguasa secara simbolis.
- Nice, Prancis: sejak abad ke-19 mengadakan parade bunga yang menjadi daya tarik wisata (Muir, 2005).
Dalam konteks ini, karnaval tidak hanya menjadi pesta religius, tetapi juga media kritik sosial dan kebebasan berekspresi, di mana rakyat dapat melepaskan ketegangan hidup sehari-hari.
Penyebaran ke Dunia Baru
Tradisi karnaval kemudian menyebar melalui kolonialisme Eropa ke Amerika Latin dan Karibia. Di sana, ia berpadu dengan budaya lokal dan pengaruh Afrika. Hasilnya adalah bentuk karnaval baru yang lebih berwarna, seperti Karnaval Rio de Janeiro di Brasil yang terkenal dengan parade samba, serta Karnaval Trinidad dan Tobago yang melahirkan musik calypso dan steelpan (Green, 2002).Makna di Era Modern
Kini, karnaval tidak lagi semata perayaan religius. Di banyak negara, termasuk Indonesia, karnaval telah menjadi ajang seni, budaya, dan pariwisata. Perayaan ini menjadi ruang kreativitas masyarakat sekaligus sarana memperkuat identitas budaya lokal.![]() |
Malang Flower Carnival - img/disway |
Karnaval di Indonesia: Dari Tradisi Budaya hingga Ajang Kreativitas Modern
Karnaval di Indonesia berkembang dengan wajah yang unik, berbeda dari akar Eropa yang bernuansa religius. Di tanah air, karnaval lebih sering dikaitkan dengan perayaan nasional, promosi budaya daerah, dan atraksi wisata. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia mampu mengadaptasi konsep global ke dalam kekayaan tradisi lokal.Sejarah Awal Karnaval di Indonesia
Tradisi karnaval masuk ke Indonesia pada masa kolonial Belanda. Pawai atau parade sering diadakan untuk memperingati peristiwa penting, termasuk pesta kerajaan atau kegiatan politik kolonial. Setelah Indonesia merdeka, konsep karnaval dimodifikasi menjadi bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, di mana masyarakat melakukan pawai budaya, pawai pembangunan, hingga karnaval kemerdekaan di berbagai kota.Karnaval sebagai Ekspresi Budaya
Karnaval di Indonesia bukan sekadar parade hiburan. Ia menjadi ajang menampilkan identitas daerah melalui kostum, musik, tarian, dan kerajinan tangan. Misalnya, peserta karnaval memakai busana tradisional yang dimodifikasi, atau menampilkan tarian khas daerahnya di jalanan kota. Hal ini sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, yakni merayakan keberagaman dalam persatuan.Beberapa contoh karnaval budaya terkenal di Indonesia:
- Jember Fashion Carnaval (JFC): Digelar sejak 2001 di Jember, Jawa Timur. JFC dikenal sebagai salah satu karnaval busana terbesar di Asia, menampilkan kostum spektakuler bertema budaya Nusantara maupun dunia.
- Solo Batik Carnival: Diselenggarakan sejak 2008 di Surakarta, menampilkan kostum berbahan dasar batik yang dikreasikan dengan desain modern.
- Malang Flower Carnival: Diadakan di Malang, Jawa Timur, dengan parade kostum berbasis bunga dan flora, menjadikannya atraksi wisata unggulan.
- Pesona Gondanglegi : Kabupaten Malang juga memiliki event karnaval yang mengutamakan keindahan dan kreativitas kostum spektakuler yang tidak kalah menarik dengan JFC.
Fungsi Sosial dan Ekonomi
Selain sebagai perayaan budaya, karnaval di Indonesia memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Di tingkat sosial, karnaval memperkuat rasa kebersamaan antar warga. Di tingkat ekonomi, ia menjadi daya tarik wisata, mendorong sektor UMKM, hotel, kuliner, dan transportasi. Tidak jarang karnaval lokal dipromosikan hingga mancanegara untuk menarik wisatawan asing.Karnaval Masa Kini
Kini, karnaval di Indonesia juga dipakai sebagai sarana pendidikan karakter. Sekolah-sekolah kerap mengadakan karnaval untuk menanamkan rasa cinta tanah air, disiplin, dan kreativitas siswa. Dengan demikian, karnaval bukan hanya pesta visual, tetapi juga wahana pembelajaran sosial dan budaya.Makna Sosial Karnaval: Ajang Kritik, Humor, dan Kebebasan Berekspresi
Karnaval, selain memiliki dimensi religius, budaya, dan ekonomi, juga memegang peran sosial yang penting dalam masyarakat. Dalam sejarahnya, karnaval sering menjadi ruang publik tempat masyarakat mengekspresikan kritik, humor, bahkan ejekan terhadap penguasa dan norma sosial yang kaku. Fungsi sosial ini menjadikan karnaval sebagai wadah unik yang memungkinkan rakyat, tanpa memandang status sosial, berpartisipasi secara setara dalam sebuah pesta rakyat.![]() |
Pesona Gondanglegi |
Ruang Sosial untuk Kritik dan Humor
Sejak abad pertengahan di Eropa, karnaval dipahami sebagai “masa pembalikan” (time of inversion), ketika struktur sosial yang biasanya kaku sementara dibalik. Raja bisa ditertawakan, pejabat bisa dijadikan bahan lelucon, bahkan gereja pun kadang dijadikan objek sindiran. Menurut pemikiran Mikhail Bakhtin dalam Rabelais and His World (1968), karnaval berfungsi sebagai ruang di mana hierarki sosial dilebur sementara, digantikan oleh kebebasan, kesetaraan, dan tawa kolektif. Dengan demikian, humor dan parodi dalam karnaval bukan hanya hiburan, melainkan juga bentuk kritik sosial yang halus.Ajang Kebebasan Berekspresi
Karnaval juga memberi ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan identitas dan kreativitas tanpa batasan. Melalui kostum, topeng, musik, dan tarian, masyarakat bisa menciptakan dunia alternatif yang lebih bebas. Hal ini menjadikan karnaval sebagai sarana pelepasan ketegangan sosial, sekaligus bentuk “katup pengaman” agar konflik dan ketidakpuasan tidak meledak secara destruktif. Peneliti antropologi Victor Turner (1969) menyebut fenomena ini sebagai komunitas, yaitu momen ketika orang merasa terhubung secara egaliter melalui pengalaman bersama.Karnaval dalam Konteks Modern
Dalam konteks modern, fungsi sosial karnaval masih tetap relevan. Misalnya, pada karnaval di Brazil, parade samba tidak hanya menampilkan keindahan tari dan musik, tetapi juga menyelipkan pesan kritik sosial, politik, dan ekonomi. Di Indonesia sendiri, beberapa karnaval seperti Jember Fashion Carnaval atau Solo Batik Carnival sering menjadi media kreatif untuk menyuarakan isu lingkungan, budaya lokal, hingga pluralisme. Dengan begitu, karnaval tetap berperan sebagai ruang ekspresi sosial, yang memadukan hiburan dengan pesan-pesan kritis.Makna sosial karnaval tidak bisa dipandang sekadar pesta jalanan. Ia adalah ruang yang memungkinkan masyarakat mengekspresikan kritik, humor, dan kebebasan dalam suasana kolektif. Dari perspektif sejarah hingga masa kini, karnaval membuktikan dirinya sebagai medium sosial yang berfungsi menjaga keseimbangan antara kekuasaan, norma, dan kebebasan individu. Dengan demikian, karnaval bukan hanya bentuk hiburan, melainkan juga ekspresi sosial yang sarat makna.
Karnaval, Sound Horeg, dan Perspektif Sosial-Religius
Secara historis, karnaval berfungsi sebagai ruang sosial untuk berekspresi bebas, seringkali dengan humor, musik, dan parodi. Dalam pemikiran Mikhail Bakhtin (Rabelais and His World, 1968), karnaval merupakan momen “pembalikan sosial”, di mana hierarki dilebur sementara dan masyarakat dapat mengekspresikan diri tanpa batas. Di banyak tempat, musik adalah unsur penting karnaval karena mampu menciptakan suasana kolektif.Fenomena Sound Horeg di Indonesia
Dalam perkembangan kontemporer di Indonesia, terutama di Jawa, muncul fenomena sound horeg. Istilah ini merujuk pada penggunaan sound system berdaya besar dengan dentuman bass ekstrem, sering dipakai dalam karnaval desa, hajatan, atau arak-arakan. Bagi sebagian anak muda, sound horeg dianggap sebagai bentuk kebebasan dan gaya hidup modern.Namun, penelitian lokal menunjukkan dampak negatifnya. Menurut survei yang dimuat dalam Jurnal Sosioteknologi (Wibisono, 2021), sound system dengan volume ekstrem dapat menimbulkan polusi suara, mengganggu kesehatan pendengaran, dan menimbulkan keresahan sosial. Dalam konteks karnaval, dentuman yang berlebihan kadang memicu keributan, terutama jika disertai konsumsi alkohol atau perilaku tidak tertib.
Fatwa MUI tentang Musik Berlebihan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang tidak mengharamkan musik secara mutlak. Namun, dalam fatwa terkait hiburan dan kesenian (MUI, 2017), disebutkan bahwa musik menjadi haram jika:- Mengandung unsur maksiat,
- Mengganggu ketertiban umum,
- Menimbulkan mudharat lebih besar daripada manfaatnya.
Sintesis Sosial-Religius
Dari perspektif sosial, karnaval memang wadah kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu tidak absolut. Kebebasan harus diiringi tanggung jawab, agar ekspresi budaya tidak menimbulkan keresahan. Dalam hal ini, karnaval sebaiknya dikelola dengan musik dan seni yang kreatif tetapi tetap ramah lingkungan sosial serta sejalan dengan nilai religius.Dengan demikian, fenomena sound horeg menunjukkan adanya benturan antara ekspresi sosial modern dan nilai etika religius. Jalan tengahnya adalah mengembangkan karnaval yang tetap semarak, namun menggunakan musik dan sound system secara bijak, tidak berlebihan, dan tetap memuliakan masyarakat.
Referensi :
- Burke, P. (1997). Varieties of Cultural History. Cornell University Press.
- Green, G. (2002). Carnival: Culture in Action – The Trinidad Experience. Routledge.
- Muir, E. (2005). Ritual in Early Modern Europe. Cambridge University Press.
- Suwondo, B. (2010). Kebudayaan dalam Dinamika Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.
- Harsawardana, W. (2015). Industri Kreatif dan Karnaval Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Jember Fashion Carnaval Official Website: [https://jemberfashioncarnaval.com](https://jemberfashioncarnaval.com)
- Bakhtin, M. (1968). Rabelais and His World. MIT Press.
- Turner, V. (1969). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Aldine Publishing.
- DaMatta, R. (1991). Carnivals, Rogues, and Heroes: An Interpretation of the Brazilian Dilemma. University of Notre Dame Press.
- Stallybrass, P., & White, A. (1986). The Politics and Poetics of Transgression. Cornell University Press.
- Wibisono, A. (2021). “Dampak Polusi Suara Sound System Terhadap Kesehatan dan Lingkungan Sosial.” Jurnal Sosioteknologi, 20(1).
- MUI (Majelis Ulama Indonesia). (2017). Fatwa MUI tentang Seni dan Budaya dalam Perspektif Islam.
0 Komentar