Setengah Anggaran Pendidikan untuk MBG: Investasi SDM atau Salah Sasaran?

info-gptn.or.id

Lonjakan Anggaran Pendidikan dan Porsi MBG

Pemerintah pada tahun 2026 mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk pendidikan melalui Rancangan Undang-Undang APBN. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2025 sebesar Rp724,7 triliun. Namun yang menimbulkan perdebatan adalah keputusan pemerintah menyalurkan Rp335 triliun atau 44,2% dari total anggaran pendidikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

MBG sendiri adalah program yang mulai digulirkan sejak Januari 2025 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024. Penerima manfaat mencakup siswa sekolah, anak di bawah lima tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui. Targetnya, hingga tahun 2029 program ini mampu menjangkau lebih dari 82,9 juta penerima manfaat.

Dukungan Politik: MBG sebagai Strategi Peningkatan SDM

Fraksi-fraksi di DPR mayoritas menyatakan dukungan. Andi Muzakir Akil dari Fraksi Demokrat menegaskan MBG penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini, meski tetap perlu menjaga mutu pendidikan secara menyeluruh.

Sementara itu, anggota Fraksi PKS menilai MBG tidak hanya soal gizi, melainkan juga strategi untuk memberdayakan UMKM dan menggerakkan ekonomi lokal. Kolaborasi dengan petani, peternak, dan pengusaha kecil dinilai bisa memberi dampak ganda: siswa sehat, perekonomian daerah bergerak.

Fraksi Gerindra bahkan menilai alokasi 20% APBN untuk pendidikan — salah satu yang terbesar sepanjang sejarah — tetap menunjukkan komitmen negara, meski porsi besar MBG menyedot perhatian.

Kritik Pengamat: Ironi dan Salah Sasaran

Di sisi lain, kalangan pengamat pendidikan menilai langkah pemerintah justru kontradiktif. Suparman Marzuki Nahali, Ketua Dewan Kehormatan PGRI, menekankan bahwa MBG seharusnya tidak diambil dari anggaran pendidikan. Jika pemerintah ingin menerapkan program gizi nasional, dananya lebih tepat diambil dari pos lain, misalnya kesehatan atau perlindungan sosial.

Lebih jauh, ia menyarankan agar sasaran MBG difokuskan pada anak-anak tidak mampu, bukan merata untuk semua siswa. Menurutnya, ini akan lebih tepat guna sekaligus adil.

Satriawan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan Guru, menyebut alokasi 44,2% untuk MBG sebagai “ironi besar”. Alih-alih memperkuat literasi, numerasi, serta kesejahteraan guru, pemerintah justru menyalurkan anggaran raksasa untuk program makan gratis. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah begitu terobsesi memberi makan kepada semua siswa, padahal kualitas pendidikan masih menghadapi tantangan serius.

Sementara itu, Ubait Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia menilai kebijakan ini hanya memperkuat tren salah sasaran dalam alokasi anggaran pendidikan. Ia mengingatkan kembali amanat Mahkamah Konstitusi: pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar gratis, termasuk untuk sekolah swasta. Menurutnya, fokus seharusnya diarahkan ke sana.

Skema Pelaksanaan dan Tantangan Lapangan

Badan Gizi Nasional (BGN) menyusun tiga skema pelaksanaan MBG:
  • Dapur khusus BGN yang langsung memasak dan menyalurkan makanan.
  • Kerja sama dengan lembaga negara seperti Kodim, Polres, pemerintah daerah, hingga BUMN.
  • Kemitraan dengan swasta, termasuk penyedia katering atau UMKM.
Namun, catatan di lapangan menunjukkan masalah serius. Sejumlah kasus keracunan akibat konsumsi paket MBG telah terjadi dan menimpa ribuan siswa. Hal ini memperlihatkan bahwa standar keamanan pangan, pengawasan distribusi, dan kualitas pengelolaan masih jauh dari sempurna.

Antara Investasi Gizi dan Kualitas Pendidikan

Pertanyaan utama dari perdebatan ini adalah: apakah gizi gratis sebanding dengan pengorbanan anggaran pendidikan lainnya?

Di satu sisi, gizi baik terbukti meningkatkan konsentrasi, kehadiran, dan prestasi akademik siswa. Dengan demikian, MBG bisa dianggap sebagai investasi jangka panjang untuk kualitas SDM. Namun di sisi lain, pendidikan bukan hanya soal kenyang, tetapi juga kualitas guru, fasilitas, kurikulum, dan literasi.

Jika hampir separuh anggaran pendidikan tersedot ke MBG, dikhawatirkan sektor esensial lain terpinggirkan. Terlebih, kebutuhan peningkatan kualitas guru dan capaian literasi nasional masih mendesak.

Perlu Reposisi Kebijakan

MBG adalah program dengan niat baik — menghapus kelaparan, meningkatkan gizi, dan mendukung tumbuh kembang anak Indonesia. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada alokasi yang tepat sasaran, skema distribusi yang aman, dan pengawasan ketat.

Agar tidak menjadi “ironi anggaran”, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan beberapa langkah:
  • Mengarahkan MBG untuk kelompok rentan sehingga lebih adil dan efisien.
  • Mengambil porsi dari anggaran lain seperti kesehatan atau perlindungan sosial, bukan hanya pendidikan.
  • Menjaga keseimbangan anggaran pendidikan agar literasi, numerasi, dan kesejahteraan guru tetap mendapat porsi signifikan.
Pada akhirnya, pendidikan berkualitas tidak hanya lahir dari perut yang kenyang, tetapi juga dari guru yang sejahtera, kurikulum yang relevan, dan lingkungan belajar yang mendukung. Jika MBG dijalankan tanpa memperhatikan aspek ini, besar kemungkinan program baik ini justru menjadi salah sasaran dalam perjalanan panjang reformasi pendidikan Indonesia.

0 Komentar