Srawung Suro di Patirtaan Ngawonggo: Mahasiswa Komunikasi UMM dan Warga Lestarikan Tradisi Perenungan Awal Tahun Jawa

img - Artureborn

Malang, 28 Juni 2025 — Dalam suasana tenang dan khidmat khas bulan Suro, kelompok praktikum Public Relations 3 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang tergabung dalam Arture, kembali menghadirkan kolaborasi bermakna bersama Situs Patirtaan Ngawonggo. Bertajuk Srawung Suro, acara ini menjadi bagian lanjutan dari keberhasilan gelaran budaya SWARGO, yang kini dikembangkan sebagai momen internalisasi nilai-nilai adat dan tradisi Jawa di awal tahun baru penanggalan Jawa. 


Bertempat di kawasan sakral Situs Patirtaan Ngawonggo, kegiatan ini diikuti oleh warga RT setempat yang datang secara berbondong-bondong dengan membawa encek—wadah makanan tradisional—berisi lauk-pauk beragam. Tradisi ini menjadi simbol syukur dan kebersamaan. Acara dimulai dengan pembacaan doa bersama, baik secara adat maupun secara Islam, lalu dilanjutkan dengan momen saling bertukar encek antarwarga, sebagai bentuk simbolik dari rasa syukur dan permohonan berkah untuk tahun baru. 


Kepala Pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo, Cak Yasin, menjelaskan bahwa suroan merupakan tradisi tahunan yang rutin digelar sebagai bentuk perenungan diri dan menyambut datangnya tahun baru Jawa. Ia menekankan pentingnya nilai-nilai spiritual dalam perayaan ini, yang bukan sekadar seremoni, namun merupakan ajakan untuk kembali pada kesucian batin. 


“Suroan di Patirtaan ini sudah jadi tradisi turun-temurun. Filosofinya adalah perenungan, kembali suci, menyambut tahun baru Jawa dengan hati yang bersih. Salah satu bentuk syukurnya ya lewat bertukar encek ini,” ujar Cak Yasin. 


Yang membuat perayaan Srawung Suro semakin bermakna adalah hadirnya makanan khas yang hanya muncul saat bulan Suro, yakni jenang suro. Makanan ini terbuat dari beras yang dicampur dengan berbagai jenis polo pendem (umbi-umbian), dan disajikan dengan topping seperti irisan telur, serundeng, cambah, teri, kacang mete, dan bahan pelengkap lainnya. Cak Yasin menyebut jenang suro sebagai makanan berfilosofi tinggi. 


“Jenang suro itu perlambang kesucian. Dari bahan-bahannya yang sederhana dan membumi, kita diajak untuk hidup bersih, kembali suci. Itulah maknanya: kita membuka tahun baru Jawa dengan hati yang bersih,” tambahnya. 


Cak Yasin juga menjelaskan bahwa bulan Suro dalam kepercayaan dan budaya Jawa adalah bulan yang sakral, sehingga masyarakat secara tradisional menghindari kegiatan seperti pernikahan maupun pembangunan rumah selama bulan ini. Tradisi ini menjadi bentuk penghormatan terhadap waktu yang dianggap sebagai momen untuk “meneng”, eling, dan ngresiki ati lan pikiran—merenung, mengingat jati diri, dan membersihkan hati serta pikiran. 


Keistimewaan dari Srawung Suro 2025 adalah kehadiran para peserta dari event SWARGO, yang ikut serta sebagai bentuk keberlanjutan acara sebelumnya. Jika SWARGO merepresentasikan perayaan budaya masa lalu desa dengan meriah, maka Srawung Suro menjadi kelanjutannya—sebuah ruang perenungan yang memperkuat pesan spiritual dari rangkaian budaya tersebut. 


Dengan kolaborasi ini, mahasiswa Komunikasi UMM membuktikan bahwa mereka tidak hanya mampu menyelenggarakan event budaya yang meriah, tetapi juga mengambil peran dalam pelestarian tradisi lokal secara substansial. Melalui pendekatan kultural, mereka menjadi jembatan antara generasi muda dan akar adat istiadat yang nyaris terlupakan. Srawung Suro hadir sebagai pengingat bahwa budaya bukan hanya soal perayaan, tetapi juga ruang perenungan. Mahasiswa menjadi penggerak agar budaya tidak hanya dikenal, tetapi juga dimaknai dan diteruskan. (Wita)




0 Komentar