![]() |
Bu Ratih - Dok. Ikidangbang |
Sebuah Hari, Sebuah Harapan
Suasana di salah satu ruang sederhana di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, terasa berbeda pagi itu. Dinding yang biasanya kosong, kini penuh warna. Terpajang rapi deretan lukisan karya anak-anak dari enam sekolah berbeda, dengan goresan tangan penuh semangat dan makna. Pameran lukisan ini bukan hanya soal memamerkan karya, tapi sebuah perayaan kecil atas semangat besar dari para seniman cilik yang tergabung dalam Sanggar Syahitya Nawasena Graha Cita Sukolilo.Digelar hanya sehari, bukan karena kurangnya antusiasme, melainkan karena keterbatasan tempat yang belum cukup memadai. Namun, keterbatasan itu tidak menghalangi pancaran semangat anak-anak untuk menampilkan karya terbaik mereka.
![]() |
Display Karya Depan Balai Desa Sukolilo - Dok. Ikidangbang |
Dari MI hingga SD, Bersatu dalam Warna
Sebanyak 15 anak yang berasal dari enam sekolah—MI An Nashr, MI Miftahul Ulum, MI Mambaul Ulum, serta SD Negeri 1, 2, dan 3 Sukolilo—ikut berpartisipasi. Mereka adalah anak-anak biasa dengan mimpi luar biasa, yang dipertemukan oleh satu cinta yang sama: seni. Dalam setiap lukisan, terlihat upaya mereka mengungkapkan perasaan, harapan, bahkan kritik sosial dalam bahasa visual yang jujur dan polos.Sanggar tempat mereka belajar bukan institusi besar dengan fasilitas lengkap. Tetapi di tangan seorang pembina yang penuh dedikasi, Ibu Ratih, sanggar ini tumbuh menjadi ruang yang aman bagi anak-anak untuk berkarya, berekspresi, dan tumbuh bersama.
![]() |
15 Perupa dari 6 Sekolah Dasar |
Ibu Ratih dan Misi Pendidikan Lewat Seni
Ibu Ratih bukanlah nama asing dalam dunia seni Wajak. Ia adalah seorang pegiat seni yang konsisten mendampingi anak-anak menggali potensi mereka. Bersama suaminya, Pak Hudi—seorang seniman rupa dan patung yang telah banyak melahirkan maha karya, salah satunya landscape dan patung-patung di tempat wisata seperti Lembang Tumpang Resort—mereka menginisiasi sanggar yang membuka pintu bagi generasi muda untuk mencintai dan hidup dalam seni.Melalui sanggar, Ibu Ratih menyisipkan nilai-nilai pendidikan karakter yang jarang dijumpai dalam pembelajaran formal. Anak-anak diajak untuk tidak hanya terampil melukis, tapi juga belajar kesabaran, kerja keras, ketelitian, bahkan kemampuan menyampaikan ide dalam bentuk visual.
Rejana Hasta Baksya Anaranaya: Makna di Balik Tema
Tema pameran kali ini adalah "Rejana Hasta Baksya Anaranaya", sebuah frasa indah yang mengandung makna mendalam: bekerja dan berkarya dengan kreativitas yang penuh kebermanfaatan. Ini bukan sekadar jargon. Dalam setiap sapuan kuas anak-anak, tergambar bagaimana mereka memaknai kehidupan sekitar: keindahan desa, cita-cita masa depan, hingga harapan untuk dunia yang lebih baik.Tema ini mencerminkan filosofi penting dalam pendidikan anak—bahwa belajar bukan hanya soal angka dan huruf, tetapi juga bagaimana mereka menjadi manusia yang utuh: berpikir, merasa, dan berkarya.
![]() |
Karya-Karya Lukisan yang dipamerkan |
Seni sebagai Jalan Tumbuh Kembang Anak
Pameran ini bukan tentang siapa yang terbaik, melainkan bagaimana seni menjadi ruang tumbuh bagi setiap anak. Di tengah tekanan akademik dan kehidupan digital yang semakin menyita perhatian, sanggar ini menawarkan alternatif: dunia warna yang membebaskan dan menenangkan.
Melalui kegiatan ini, Ibu Ratih berharap pemerintah dan masyarakat setempat mulai melirik pentingnya ruang-ruang ekspresi seni bagi anak-anak. Harapannya ke depan, sanggar tidak hanya mengembangkan seni rupa, tetapi juga seni tari, musik, bahkan teater, menjadikannya pusat pertumbuhan kreativitas anak-anak Wajak.
![]() |
Pameran Karya Lukisan |
Menyulam Masa Depan Lewat Seni
Satu hari pameran mungkin singkat, namun pesan yang disampaikannya abadi. Di ruang sederhana itu, anak-anak telah diajarkan untuk percaya pada karya mereka sendiri. Mereka belajar bahwa kreativitas bukanlah hal mewah, tapi sesuatu yang tumbuh dari keberanian, ketekunan, dan dukungan yang tulus.Rejana Hasta Baksya Anaranaya bukan sekadar tema—ia adalah arah. Sebuah pengingat bahwa anak-anak kita layak mendapatkan ruang untuk berkarya, dan masyarakat wajib menyediakan tanah tempat benih-benih kreativitas itu tumbuh.
Semoga dari Sukolilo, Wajak, lahir para pelukis masa depan—bukan hanya di kanvas, tapi juga dalam kehidupan yang penuh makna.
0 Komentar